BAHASA, ETIKA, DAN PEMARTABATAN BANGSA

Authors

  • Pardi Suratno Balai Bahasa Jawa Tengah, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemdikbud

DOI:

https://doi.org/10.30595/mtf.v2i2.167

Abstract

Abstrak: Bahasa diyakini sebagai media atau alat komunikasi sekaligus alat atau sarana berpikir dan perekat komunikasi antar suku dan atau antar negara. Selain itu bahasa juga merupakan identitas masyarakat/bangsa dan wadah kebudayaan sekaligus sebagai media pewarisan kebudayaan. Pada saat yang sama, bahasa merupakan produk budaya. Sejak lama bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa berkebudayaan tinggi. Karya sastra seperti La Galigo, Negerakertagama, Baratayuda, HangTuah, Sejarah Melayu, dan Serat Centhini membuktikan kemajuan pengetahuan dan kecerdasan bangsa Indonesia dan mewadahi peradaban sekaligus pemakaian bahasa yang lahir dari budaya tinggi. Bahasa selalu terkait dan harus dikaitkan dengan dinamika perubahan masyarakat dan bangsa. Representasi bahasa juga mengacu terhadap tinggi dan rendahnya budaya sebuah bangsa. Jadi, dari segi bahasa, tinggi-rendahnya budi bahasa suatu masyarakat dan bangsa menandai tinggi-rendahnya peradaban masyarakat dan bangsa. Dapat ditarik dalam lingkup yang sempit, tinggi-rendahnya bahasa seseorang menjadi bukti tinggi-rendahnya karakter seseorang tersebut. Terdapat gejala dinamika bahasa Indonesia yang semula berkembang dari bahasa berbudaya tinggi (salah satunya berbahasa santun) menuju bahasa berbudaya rendah (berbahasa kasar) yang terjadi di semua ranah kehidupan (politik, kuliner, kosmetika, busana, dll.). Kondisi seperti itu ditandai dengan pemakaian bahasa yang kasar dan kurang berbudaya. Tindak berbahasa harus dipandang sebagai ibadah. Bahasa cerminan seseorang dan masyarakat berbudaya sebagai manipestasi ibadah kepada Tuhan. Berbahasa seperti itu hanya dapat dilakukan oleh sosok yang mampu berpikir positif (berprasangka baik atau khusnudzan), sebaliknya berbahasa kasar dan rendah itu gambaran pikiran negatif (prasangka burukatau suudzan). Secara otomatis berpikir positif akan menuntun pikiran penutur atau penulis terhadap pemakaian bahasa yang cerdas, santun, berbudaya, dan intelek. Sebaiknya, berpikir negatif akan menyeret seseorang untuk bertutur yang mencerminkan sikap curiga, kasar, bicara menyakitkan, dan tidak berbudaya, sekaligus berbahasa yang jauh dari nilai intelektual. Dalam konteks masyarakat yang religius, meyakini hidup di dunia adalah ladang menuju kehidupan akhirat yang hakiki, terdapat orientasi semua orang untuk mendapatkan posisi mulia di hadapan Tuhannya. Memuliakan manusia atau orang lain diwujudkan dalam performansi bahasa atau parole. Kesadaran religius itu diharapkan menjadi penggerak hati dan tindakan untuk berbahasa secara memadai. Kata kunci: bahasa, kesadaran religius, tingkat budaya

References

Atmawati, Dwi. 2011. â€Prinsip Pollyanna dalam Wacana Dakwah (Kajian Pragmatik)â€. Jurnal Kajian Linguistik dan Sastra. Volume 23. No. 1.2011. Surakarta: Universitas Mummadiyah Surakarta.

Suratno, Pardi. 2008. Gusti Ora Sare: Yogyakata: Penerbit Tiara Wacana.

------------. 2015. “Pemuliaan Bangsa melalui Internalisasi Bahasa. Makalah dalam Seminar Nasional bertema “Kajian Pragmatik dalam Berbagai Bidang” yang dilaksanakan oleh Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta, 13—14 November 2015

----------------. 2016. “Internationalization of Indonesia Local Culture Values”. Makalah dalam Seminar Internasional yang diselenggarakan oleh Pasca Sarjana Universitas Negeri Semarang.

Suyami. 2014. “Memangun Karyenak Tyasing Sasama: Intisari Kesantunan Jawa yang Layak Mendunia” Makalah dalam Kongres Kebudayaan Jawa. Surakarta: Kongres Kebudayaan Jawa.

Tohari, Ahmad, 2015. Mata yang Enak Dipandang. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Downloads

How to Cite

Suratno, P. (2016). BAHASA, ETIKA, DAN PEMARTABATAN BANGSA. Metafora: Jurnal Pembelajaran Bahasa Dan Sastra, 2(2). https://doi.org/10.30595/mtf.v2i2.167

Issue

Section

Article